Silahkan unduh file aslinya di sini

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK PENGOLAHAN DAGING

Tanggal           : 13 November 2012               Nama Dosen   : M. Sriduresta s, S.Pt, M.Sc

Praktikum ke   : 7                                            Nama Asisten  : Hesti Indri P.

                                                                                                  Angritia Voreza

                                                                                                  Gita Try L.

                                                                                                  Sindya Erti J. S.

PEMBUATAN

DENDENG DAN ABON

Oleh:

Yusuf Jafar Rizali

D14100064

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani. Tingginya tingkat konsumsi daging disebabkan nilai gizi yang terkandung di dalam daging lebih banyak bila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, daging mempunyai asam amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein yang berasal dari nabati.

Dendeng dan abon merupakan beberapa jenis olahan daging yang disukai oleh masyarakat Indonesia. Bahan baku dendeng dan abon adalah daging, oleh karena itu cara pengolahan dan penyimpanan dendeng dan abon harus diperhatikan karena akan menentukan kualitasnya, untuk itu sangat perlu bagi praktikan untuk mengetahui prosedur pengolahan dan pembuatan dendeng serta abon yang baik dan benar.

 

Tujuan

            Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui prosedur dalam pembuatan dendeng dan abon, serta mengetahui palatabilitas berdasarkan uji hedonik terhadap dendeng dan abon yang telah dibuat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TINJAUAN PUSTAKA

 

Daging

Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau flesh dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Menurut Elveira (1988), daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side), dan lemusir (cube roll). Penggunaan daging gandik menyebabkan bakso mempunyai kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Indarmono, 1987).

 

Pendinginan

Pendinginan merupakan cara yang paling umum digunakan masyarakat untuk memperpanjang daya simpan daging jika tidak segera diolah. Pendinginan dilakukan dengan cara menyimpan daging di dalam freezer pada temperature -2oC sampai 5oC. Cara penyimpanan ini bukan hanya digunakan untuk daging segar, tetapi juga untuk produk daging olahan sejak proses pengolahan sampai akan dikonsumsi. Prinsip kerja pendinginan adalah menghambat aktivitas mikroba. Pada temperatur dingin, mikroorganisme pembusuk tidak aktif sehingga daging yang disimpan tidak rusak (Komariah dkk, 2008).

Lama penyimpanan daging dalam ruang pendingin ditentukan oleh penanganan sebelumnya. Di rumah tangga, daging segar sebaiknya segera diolah, maksimum empat hari setelah dibeli. Jika tidak segera diolah, sebaiknya dilakukan pembekuan. Perlu diperhatikan, menyimpan daging di dalam kulkas harus terpisah dengan bahan makanan lainnya (Komariah dkk, 2008).

Dendeng

Dendeng adalah lembaran daging yang dikeringkan dengan menambahkan campuran gula, garam, dan bumbu-bumbu lain. Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak. Namun, yang umum dijumpai di pasaran adalah dendeng sapi. Belakangan ini juga mulai dikenal dendeng ayam, ikan, udang, bekicot, dan bahakan keong emas. Jenis ikan yang biasa diolah menjadi dendeng adalah ikan air tawar (mujair, nila, dan belut) dan ikan air laut (japuh, kuning, tembang, kakap, dan layaran) (Kusantati, 2008).

Dendeng dapat dibuat dengan dua cara, yaitu dendeng sayat dan dendeng giling. Dendeng sayat menggunakan bahan utama daging yang disayat atau diiris tipis, sedangkan dendeng giling menggunakan bahan utama daging yang digiling terlebih dahulu. Selain kesegaran dan mutu daging, bumbu merupakan faktor kunci yang menentukan kualitas dan daya terima dendeng. Pembuatan dendeng di Indonesia umumnya menggunakan bumbu garam, gula, lengkuas, ketumbar, dan bawang merah. Kadang-kadang ada juga yang menambahkan lada dan bawang putih. Gula yang ditambahkan dapat berupa gula merah ataupun gula pasir. Campuran bumbu berguna untuk menambah aroma, cita rasa, dan untuk memperpanjang daya awet. Beberapa jenis rempah telah diketahui mempunyai daya antimikroba (Kusantati, 2008).

 

Abon

Abon adalah hasil olahan yang berbentuk gumpalan-gumpalan serat daging yang halus dan kering yang dibuat melalui proses rengan dan penambahan bumbu-bumbu. Selain itu abon juga didefinisikan sebagai suatu jenis lauk pauk kering berbentuk khas, dibuat dari daging dengan penambahan bumbu dan digoreng (SNI 01-3707-1995). Abon adalah sejenis makanan kering berbentuk serpihan, dibuat dari daging yang diberi bumbu kemudian digoreng. Mutu protein abon yang beredar di pasaran Bogor bervariasi, dengan kandungan antara 17,04 % – 28,61 %. Proses pembuatan abon menurunkan daya cerna protein invitro dari 78,3 % menjadi 31,2 % pada daging mentah dan 22,8 % pada abon yang digoreng pada minyak dan digoreng dalam santan kelapa (Wisena, 1988). Pembuatan abon berawal dari perebusan daging selama 20 menit, hal ini bertujuan agar penghancuran daging lebih mudah. Pembuatan abon ini banyak menggunakan bumbu-bumbu yang dapat meningkatkan cita rasa abon. Penambahan bumbu pada produk memberikan nilai kesukaan konsumen. Fungsi bumbu adalah sebagai penyedap, menambah karakteristik warna atau pola tekstur serta sebagai agen antioksidan (Forrest et al.,1975).

 

Bumbu

Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu dalam pembuatan produk daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma serta memperpanjang umur simpan produk. Merica dan bawang putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu, bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 1998).

Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki rasa yang sangat pedas (Pungent) dan berbau (aromatic). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak essensial 1% – 2,7%. Bawang putih adalah umbi dari tanaman allium Sativum L. dan memiliki rasa pedas (Pungent). Bawang putih mengandung sekitar 0,1% – 0,25% zat volatile, yaitu alil sulfide yang terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan atau dipecah. Di dalam bawang putih juga terdapat S-(2-propenil)-L-cistein sulfoksida yang merupakan prekursor utama dalam pembentukan alil thiosulfat (allicin) (Reinnenccius, 1994).

 

Garam Dapur (NaCl)

Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3% garam. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk.

 

Gula Merah

Gula merah berfungsi untuk memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk. Penambahan gula merah pada abon dan dendeng  membuat flavor yang khas dan disukai banyak konsumen. Hal ini disebabkan oleh rasa manisnya. Selain itu, gula merah juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi, dan kapang akan keluar menembus membran dan mengalir ke larutan gula, yang disebut osmosis dan mentebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno et al, 1980).

 

Aktivitas Air (Aw)

Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air bebas di dalam pangan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Nilai aw pangan dapat dihitung dengan membagi tekanan uap air pangan dengan tekanan uap air murni. Jadi air murni mempunyai nilai aw sama dengan 1. Nilai aw secara praktis dapat diperoleh dengan cara membagi % RH pada saat pangan mengalami keseimbangan kadar air dibagi dengan 100. Sebagai contoh, jika suatu jenis pangan mempunyai aw = 0,70, maka pangan tersebut mempunyai keseimbangan kadar air pada RE 70%, atau dengan perkataan lain pada RE 70% kadar air pagan tetap (yang menguap sama dengan yang terserap) (Sudiarto, Fadil).

Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Di bawah aw minimal tersebut mikroba tidak dapat tumbuh atau berkembang biak. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengawetkan pangan adalah dengan menurunkan aw bahan tersebut. Beberapa cara pengawetan pangan yang menggunakan prinsip penurunan aw bahan misalnya pengeringan dan penambahan bahan pengikat air seperti gula, garam, pati serta gliserol (Sudiarto, Fadil).

Sudiarto menyatakan bahwa kebutuhan aw untuk pertumbuhan mikroba umumnya adalah sebagai berikut:

  • Bakteri pada umumnya membutuhkan aw sekitar 0,91 atau lebih untuk pertumbuhannya. Akan tetapi beberapa bakteri tertentu dapat tumbuh sampai aw 0,75.
  • Kebanyakan kamir tumbuh pada aw sekitar 0,88, dan beberapa dapat tumbuh pada aw sampai 0,6.
  • Kebanyakan kapang tumbuh pada minimal 0,8.

Bahan makanan yang belum diolah seperti ikan, daging, telur dan susu mempunyai aw di atas 0,95, oleh karena itu mikroba yang dominan tumbuh dan menyebabkan kebusukan terutama adalah bakteri. Bahan pangan kering seperti biji-bijian dan kacang-kacangan kering, tepung, dan buah-buahan kering pada umumnnya lebih awet karena nilai aw-nya 0,60 – 0.85, yaitu cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan kebanyakan mikroba. Pada bahan kering semacam ini mikroba perusak yang sering tumbuh terutama adalah kapang yang menyebabkan bulukan (Sudiarto, Fadil).

Seperti dijelaskan di atas, konsentrasi garam dan gula yang tinggi juga dapat mengikat air dan menurunkan aw sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Makanan yang mengandung kadar garam dan atau gula yang tinggi seperti ikan asin, dendeng, madu, kecap manis, sirup, dan permen, biasanya mempunyai aw di bawah 0,60 dan sangat tahan terhadap kerusakan oleh mikroba. Makanan semacam ini dapat disimpan pada suhu kamar dalam waktu yang lama tanpa mengalami kerusakan (Sudiarto, Fadil).

 

 

 

 

 

 

 

MATERI DAN METODE

 

Materi

Abon

Alat yang digunakan dalam pembuatan abon antara lain peralatan dapur, pengepres, dan pressure cooker, sedangkan bahan yang digunakan adalah daging sapi, garam, gula merah, lengkuas, ketumbar, bawang merah, bawang putih, sereh, daun salam dan santan.

 

Dendeng

Alat yang digunakan dalam pembuatan dendeng antara lain nampan, food processor, cobek dan baskom, sedangkan bahan yang digunakan adalah daging sapi, garam, gula merah, lengkuas, ketumbar, bawang merah, bawang putih, air asam dan lada.

 

Prosedur

Abon

Daging direbus dan ditambahkan serai, daun salam dan garam sampai daging menjadi lunak dan mudah diremahkan. Untuk masing-masing metode pembuatan, digunakan setengah dari berat daging yang sudah direbus. Setelah daging dingin, selanjutnya daging diremahkan atau disuir-suir menggunakan tangan atau dengan menggunakan garpu untuk metode tradisional dan menggunakan food prosesor untuk metode modern. Semua bumbu dihaluskan, selanjutnya daging yang sudah disuir-suir ditambahkan bumbu, santan dan air kemudian dimasak sampai adonan menjadi seperti bubur. Setelah agar kering, adonan kemudian digoreng sampai berwarna kecoklatan. Untuk menghilangkan minyak, abon yang sudah digoreng diperas dengan sangat kuat agar semua minyak keluar dan tidak tersisa.

 

 

 

Dendeng

Daging sapi yang akan dipakai untuk pembuatan dendeng dibersihkan terlebih dahulu. Daging yang akan digunakan untuk dendeng iris/slice dipotong-potong terlebih dahulu menggunakan slicer dengan ketebalan 3 mm, sedangkan daging yang digunakan untuk dendeng giling digunakan food prosesor untuk menggiling/menghaluskannya. Selanjutnya semua bumbu dihaluskan dan dicampurkan ke dalam irisan daging atau daging giling.

Daging yang sudah dibaluri dengan bumbu ditempatkan di dalam loyang yang sudah dialasi dengan plastik. Untuk dendeng giling, adonan daging dan bumbu dimasukkan serta dicampurkan secara merata. Adonan dipastikan tidak terlalu tebal agar terhindar dari timbulnya jamur dan waktu pengeringan yang lama. Selanjutnya dendeng yang sudah disusun dalam loyang dioven selama 3 x 24 jam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hasil

Berdasarkan uji hedonik pada dendeng iris dan dendeng giling, telah diperoleh hasil seperti pada tabel 1.

Tabel 1 : Hasil uji hedonik dendeng

Daging Parameter
Warna Rasa Bau Penampilan
Dendeng iris daging segar 2,0 1,75 2,0 2,4
 

Dendeng iris daging beku

2,15 2,05 2,25 2,35
 

Dendeng giling daging segar

1,33 1,33 1,83 1,42
 

Dendeng giling daging beku

2,15 2,62 2,46 2,15

 

Hasil uji hedonik terhadap abon disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji hedonik abon

Daging Parameter
Warna Rasa Bau Penampilan
Abon 2,2 2,2 2,4 1,95

.

Keterangan:

1 : Sangat Suka
2 : Suka
3 : Netral
4 : Tidak Suka
5 : Sangat Tidak Suka

 

 

Berdasarkan pengukuran rendemen, kadar air daging, kadar air dendeng, Aw daging dan Aw dendeng, telah diperoleh hasil seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Data dendeng

Daging Rendemen Ka daging Ka dendeng Aw daging Aw dendeng
Dendeng iris daging segar 47,24% 75,31% 13,75% 0,879 0,849
Dendeng iris daging beku 53,12% 77,88% 12,25% 0,749 0,618
Dendeng giling daging segar 47,4% 74,06% 17,86% 0,849 0,582
Dendeng giling daging beku 39,72% 79,0% 16,0% 0,867 0,60

 

Pembahasan

Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau flesh dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Menurut Elveira (1988), daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side), dan lemusir (cube roll). Penggunaan daging gandik menyebabkan bakso mempunyai kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Indarmono, 1987).

Dendeng adalah lembaran daging yang dikeringkan dengan menambahkan campuran gula, garam, dan bumbu-bumbu lain. Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak. Namun, yang umum dijumpai di pasaran adalah dendeng sapi. Belakangan ini juga mulai dikenal dendeng ayam, ikan, udang, bekicot, dan bahakan keong emas. Jenis ikan yang biasa diolah menjadi dendeng adalah ikan air tawar (mujair, nila, dan belut) dan ikan air laut (japuh, kuning, tembang, kakap, dan layaran) (Kusantati, 2008).

Dendeng dapat dibuat dengan dua cara, yaitu dendeng sayat dan dendeng giling. Dendeng sayat menggunakan bahan utama daging yang disayat atau diiris tipis, sedangkan dendeng giling menggunakan bahan utama daging yang digiling terlebih dahulu. Selain kesegaran dan mutu daging, bumbu merupakan faktor kunci yang menentukan kualitas dan daya terima dendeng. Pembuatan dendeng di Indonesia umumnya menggunakan bumbu garam, gula, lengkuas, ketumbar, dan bawang merah. Kadang-kadang ada juga yang menambahkan lada dan bawang putih. Gula yang ditambahkan dapat berupa gula merah ataupun gula pasir. Campuran bumbu berguna untuk menambah aroma, cita rasa, dan untuk memperpanjang daya awet. Beberapa jenis rempah telah diketahui mempunyai daya antimikroba (Kusantati, 2008).

Abon adalah hasil olahan yang berbentuk gumpalan-gumpalan serat daging yang halus dan kering yang dibuat melalui proses rengan dan penambahan bumbu-bumbu. Selain itu abon juga didefinisikan sebagai suatu jenis lauk pauk kering berbentuk khas, dibuat dari daging dengan penambahan bumbu dan digoreng (SNI 01-3707-1995). Abon adalah sejenis makanan kering berbentuk serpihan, dibuat dari daging yang diberi bumbu kemudian digoreng. Mutu protein abon yang beredar di pasaran Bogor bervariasi, dengan kandungan antara 17,04 % – 28,61 %. Proses pembuatan abon menurunkan daya cerna protein invitro dari 78,3 % menjadi 31,2 % pada daging mentah dan 22,8 % pada abon yang digoreng pada minyak dan digoreng dalam santan kelapa (Wisena, 1988). Pembuatan abon berawal dari perebusan daging selama 20 menit, hal ini bertujuan agar penghancuran daging lebih mudah. Pembuatan abon ini banyak menggunakan bumbu-bumbu yang dapat meningkatkan cita rasa abon. Penambahan bumbu pada produk memberikan nilai kesukaan konsumen. Fungsi bumbu adalah sebagai penyedap, menambah karakteristik warna atau pola tekstur serta sebagai agen antioksidan (Forrest et al.,1975).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang tidak terlalu signifikan antara dendeng iris yang berasal dari daging segar dan dendeng iris yang berasal dari daging beku. Dilihat dari tabel 1, penampilan dari dendeng iris daging segar dan dendeng iris daging beku masing-masing mempunyai nilai sebesar 2,4 dan 2,35. Bau mempunyai nilai masing-masing 2,0 dan 2,25. Rasa mempunyai nilai masing-masing 1,75 dan 2,05. Warna mempunyai nilai masing-masing 2,0 dan 2,15. Data tersebut menunjukkan bahwa dari segi warna, rasa dan bau, dendeng iris daging segar lebih disukai dari pada dendeng iris daging beku, sedangkan dari segi penampilan, dendeng iris daging beku lebih disukai dari pada dendeng iris daging segar.

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara dendeng giling yang berasal dari daging segar dan dendeng giling yang berasal dari daging beku. Dilihat dari tabel 1, penampilan dari dendeng giling daging segar dan dendeng giling daging beku masing-masing mempunyai nilai sebesar 1,42 dan 2,15. Bau mempunyai nilai masing-masing 1,83 dan 2,46. Rasa mempunyai nilai masing-masing 1,33 dan 2,62. Warna mempunyai nilai masing-masing 1,33 dan 2,15. Data tersebut menunjukkan bahwa dendeng giling daging segar lebih disukai dan lebih baik dari pada dendeng giling daging beku. Hal itu dilihat dari segi warna, rasa, bau dan penampilan.

Tabel 3 menunjukkan data mengenai hasil rendemen, KA daging dan dendeng, serta AW daging dan dendeng. Data tersebut menunjukkan bahwa rendemen dendeng iris daging segar lebih rendah dari dendeng iris daging beku. KA daging segar lebih rendah dari KA daging beku pada dendeng iris. KA dendeng iris daging segar lebih tinggi dari KA dendeng iris daging beku. AW daging segar lebih tinggi dari pada AW daging beku pada dendeng iris. AW dendeng iris daging beku lebih tinggi dari pada AW dendeng iris daging beku. Hal tersebut menunjukkan bahwa dendeng iris daging beku lebih baik dari pada dendeng iris daging segar.

Perbedaan antara dendeng giling yang terbuat dari daging beku dan daging segar juga dapat dilihat pada tabel 3. Data tersebut menunjukkan bahwa rendemen dendeng giling daging segar lebih tinggi dari dendeng giling daging beku. KA daging segar lebih rendah dari KA daging beku pada dendeng giling. KA dendeng giling daging segar lebih tinggi dari KA dendeng iris daging beku. AW daging segar lebih rendah dari pada AW daging beku pada dendeng giling. AW dendeng iris daging beku lebih rendah dari pada AW dendeng giling daging beku. Hal tersebut menunjukkan bahwa dendeng giling daging segar lebih baik dari pada dendeng giling daging beku.

Pembuatan dendeng menggunakan bahan-bahan diantaranya gula merah dan air asam. Penambahan gula pada dendeng berfungsi untuk melunakkan melalui jalan mencegah penguapan air dan tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 1994). Penambahan gula merah pada dendeng berfungsi memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi dan kapang akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula, yang disebut osmosis dan menyebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno, 2004).

Pembuatan abon menggunakan bahan-bahan salah satunya santan kelapa. Santan kelapa merupakan emulsi lemak dalam air yang terkandung dalam kelapa yang berwarna putih yang diperoleh dari daging buah kelapa. Kepekatan santan kelapa yang diperoleh tergantung pada tua atau mudanya kelapa yang akan digunakan dan jumlah dalam pembuatan air yang ditambahkan. Penambahan santan kelapa akan menambah cita rasa dan nilai gizi yang tinggi suatu produk yang akan dihasilkan oleh abon. Santan juga akan menambah rasa gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian abon yang dimasak dengan menggunakan santan kelapa akan lebih gurih rasanya dibandingkan abon yang dimasak tidak menggunakan santan kelapa (Suryani et al, 2007).

Berdasarkan hasil uji organoleptik pada dendeng, dapat diketahui bahwa palatabilitas panelis terhadap dendeng buatan praktikan tidak kalah dari palatabilitas terhadap dendeng komersil. Hanya saja mungkin ada beberapa yang kurang sempurna dari segi tekstur dan penampilan. Namun secara keseluruhan dendeng buatan praktikan dapat diterima oleh para penelis dan begitu disukai.

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua dua cara dalam pembuatan dendeng, yaitu dendeng iris dan dendeng giling. Berdasarkn hasil uji organoleptik, dapat disimpulkan bahwa dendeng dan abon yang dibuat oleh praktikan memiliki palatabilitas yang cukup tinggi karena rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis menunjukkan bahwa kornet kelompok tiga cukup disukai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, Iowa.

Buckle, K. A., R.  A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 1995. SNI 01-3775-1995. Corned beef dalam kaleng. Standar Nasional Indonesia, Jakarta.

Elveira, G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San Fansisco.

Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Komariah, Surajudin & Dwi Purnomo. 2008. Aneka Olahan Daging Sapi. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Kusantati, Herni dkk. 2008. Keterampilan untuk kelas X SMA. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Reinnenccius, G. 1994. Source Book of Flavours. 2nd Edition. Chapman and Hall, New York.

Schmidt, G. R. 1988. Processing. Dalam: Cross, H. R. and A. J. Oberby. (Eds). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers, New York.

SNI 01-3707-1995. Abon. Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Jakarta

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging.  Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Sudiarto, Fadil. Mikrobiologi Pangan

Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suryani, A, Erliza Hambali, Encep Hidayat. 2007. Membuat Aneka Abon. Penebar Swadaya. Jakarta.

Winarno, F. G.., S. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta.

Winarno F G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

Wisena, M. 1988. Evaluasi Nilai Gizi Abon Sapi Menggunakan Metode Invitro dan Evaluasi Mutu Abon Komersial yang Beredar di Kota Bogor. Fakultas Teknologi Pangan IPB, Bogor.